Kamis, 23 April 2009

Babad Panembahan Senopati


Pangeran Mas Danang Jaya Suta Wijaya @ Sunan Kajenar
@ Panembahan Senopati Ing Mataram berwasiat kepada Trah Mataram :

SIKAP KEUTAMAAN

Seperti apakah sikap-sikap keutamaan itu
Dan bagaimanakah uraian penjelasannya?
Dalam menjawab perlulah diingat
Bahwa yang ada hanyalah dugaan
Karena bukanlah kata-kata yang penting
Tetapi perilaku dalam hidupmu.

Maka sikap-sikap keutamaan itu demikian:
Sebagai pandita sikapnya bijaksana dan waskita
Saleh dan taat pada agama,
mendalami sastra budaya,
Sebagai satria benar perwira dan bertata-krama
Gagah berani menjaga keselamatan masyarakat,
Sebagai pedagang semangatnya bekerja keras
Mengadakan barang dan memberi pekerjaan,
Sebagai petani sikapnya jujur,
rendah-hati,
dan bersahaja
Dipuji karena giat memelihara sawah dan ternak.

Satukanlah sikap kelimanya itu
Dalam hidup dan dalam pekerjaanmu,
karena sebagai pendeta belaka,
dapat melalaikan sesamanya
Sebagai satria semata,
sering lupa sebab-akibat derita manusia
Sebagai pedagang saja,
kerap mencari untung tanpa memberi
Sebagai petani saja,
sempit cakrawalanya dan mudah ditipu.

Kuasailah dan kendalikan dirimu
Serapkan pula
segala pengetahuan dan kebijaksanaan
Maka engkau
akan turut mengatur dunia.

Kanjeng Gusti Pangeran Mas Danang Suta Wijaya (wafat di Kajenar,1601)adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601, bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Tokoh ini dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Riwayat hidupnya banyak digali dari kisah-kisah tradisional, misalnya naskah-naskah babad karangan para pujangga zaman berikutnya.

Danang Sutawijaya adalah putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah. Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga. Hal ini seolah-olah menunjukkan adanya upaya para pujangga untuk mengkultuskan raja-raja Kesultanan Mataram sebagai keturunan orang-orang istimewa.

Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.

Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.
Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.

Arya Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja terakhir Kesultanan Demak. Ia sendiri akhirnya tewas di tangan Sutawijaya. Akan tetapi sengaja disusun laporan palsu bahwa kematian Arya Penangsang akibat dikeroyok Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi, karena jika Sultan Hadiwijaya sampai mengetahui kisah yang sebenarnya (bahwa pembunuh Bupati Jipang Panolan adalah anak angkatnya sendiri), dikhawatirkan ia akan lupa memberikan hadiah.

Usai sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan menjadi bupati di sana sejak tahun 1549, sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556. Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan tahun 1575, Sutawijaya menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin Mataram, bergelar Senapati Ingalaga (yang artinya “panglima di medan perang”).

Pada tahun 1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk menanyakan kesetiaan Mataram, mengingat Senapati sudah lebih dari setahun tidak menghadap Sultan Hadiwijaya. Senapati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah tidak peduli dengan kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu pandai menjaga perasaan Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.

Senapati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Ia sibuk mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya membangun benteng, melatih tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan Gunung Merapi. Senapati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada Senapati.

Sultan Hadiwijaya resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan menyelidiki perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban, Pangeran Benawa, dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senapati. Hanya saja sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senapati) dengan Arya Pamalad.

Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya menghukum buang Tumenggung Mayang ke Semarang karena membantu anaknya yang bernama Raden Pabelan, menyusup ke dalam keputrian menggoda Ratu Sekar Kedaton, putri bungsu Sultan. Raden Pabelan sendiri dihukum mati dan mayatnya dibuang ke Sungai Laweyan.

Ibu Pabelan adalah adik Senapati. Maka Senapati pun mengirim para mantri pamajegan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya.

Perbuatan Senapati ini membuat Sultan Hadiwijaya murka. Sultan pun berangkat sendiri memimpin pasukan Pajang menyerbu Mataram. Perang terjadi. Pasukan Pajang dapat dipukul mundur meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak.

Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dalam perjalanan pulang ke Pajang. Ia akhirnya meninggal dunia namun sebelumnya sempat berwasiat agar anak-anaknya jangan ada yang membenci Senapati serta harus tetap memperlakukannya sebagai kakak sulung. Senapati sendiri ikut hadir dalam pemakaman ayah angkatnya itu.

Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya yang menjadi adipati Demak. Ia didukung Panembahan Kudus berhasil merebut takhta Pajang pada tahun 1583 dan menyingkirkan Pangeran Benawa menjadi adipati Jipang.

Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senapati pada tahun 1586 karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri tertangkap dan dikembalikan ke Demak.

Pangeran Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak. Senapati hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Pangeran Benawa pun diangkat menjadi raja Pajang sampai tahun 1587. Sepeninggalnya, ia berwasiat agar Pajang digabungkan dengan Mataram. Senapati dimintanya menjadi raja. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Pangeran Gagak Baning, adik Senapati.

Maka sejak itu, Senapati menjadi raja pertama Mataram bergelar Panembahan. Ia tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.

Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, daerah-daerah bawahan di Jawa Timur banyak yang melepaskan diri. Persekutuan adipati Jawa Timur tetap dipimpin Surabaya sebagai negeri terkuat. Pasukan mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun dapat dipisah utusan Giri Kedaton.

Selain Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram, daerah Pati juga sudah tunduk secara damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola putra Ki Panjawi. Kakak perempuannya (Ratu Waskitajawi) menjadi permaisuri utama di Mataram. Hal itu membuat Pragola menaruh harapan bahwa Mataram kelak akan dipimpin keturunan kakaknya itu.

Pada tahun 1590 gabungan pasukan Mataram, Pati, Demak, dan Pajang bergerak menyerang Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jemuna (putra bungsu Sultan Trenggana) yang telah mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya. Melalui tipu muslihat cerdik, Madiun berhasil direbut. Rangga Jemuna melarikan diri ke Surabaya, sedangkan putrinya yang bernama Retno Dumilah diambil sebagai istri Senapati.

Pada tahun 1591 terjadi perebutan takhta di Kediri sepeninggal bupatinya. Putra adipati sebelumnya yang bernama Raden Senapati Kediri diusir oleh adipati baru bernama Ratujalu hasil pilihan Surabaya.

Senapati Kediri kemudian diambil sebagai anak angkat Panembahan Senapati Mataram dan dibantu merebut kembali takhta Kediri. Perang berakhir dengan kematian bersama Senapati Kediri melawan Adipati Pesagi (pamannya).

Pada tahun 1595 adipati Pasuruhan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun dihalang-halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat dikalahkan Panembahan Senapati dalam sebuah perang tanding. Ia kemudian dibunuh sendiri oleh adipati Pasuruhan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram.

Pada tahun 1600 terjadi pemberontakan Adipati Pragola dari Pati. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua Senapati. Pasukan Pati berhasil merebut beberapa wilayah sebelah utara Mataram. Perang kemudian terjadi dekat Sungai Dengkeng di mana pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Senapati sendiri berhasil menghancurkan pasukan Pati.

Panembahan Senapati alias Danang Sutawijaya meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede. Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah yang lahir dari putri Pati, bernama Mas Jolang.

BABAD TANAH JAWI

PANEMBAHAN SENOPATI DAN KANJENG RATU KIDUL

KINANTHI

(1)
Alon tindak kalihipun, Senapati lan sang dewi, sedangunya apepanggya, Senapati samar ngeksi, mring suwarna narpaning dyah, wau wanci nini-nini.

Perlahan jalan keduannya, Senopati dan sang Dewi, selama mereka bertemu, Senopati sebenarnya tidak tahu jelas bagaimana wajah rupa sang Dewi, seperti terlihat nenek-nenek tadi.

(2)
Mangke dyah warnane santun, wangsul wayah sumengkrami, Senapati gawok ing tyas, mring warna kang mindha Ratih, tansah aliringan tingal, Senapati lan sang dewi.

Lalu nanti wajah rupa sang Dewi berubah kembali lagi sangat menarik hati, Senopati terpesona hatinya melihat kecantikan si Dewi seperti Ratih, mereka saling mencuri pandang selalu, Senopati dan sang Dewi.

(3)
Sakpraptanira kedhatun, narpeng dyah lan Senapati, luwar kanthen tata lenggah, mungging kanthil kencana di, Jeng Ratu mangenor raga, Senapati tansah ngliring.

Setelah sampai di istana, keduanya sang senopati dan Dewi melepas genggaman tangan kemudian duduk, di atas bunga kanthil emas, Jeng Ratu menggeliatkan badannya, senopati selalu melihatnya dengan mencuri pandang.

(4)
Mring warnanira Jeng Ratu, abragta sakjroning galih, enget sabil jroning driya, yen narpeng dyah dede jinis, nging sinaun ngegar karsa, mider wrin langening puri.

Melihat pada kecatikan Ratu, mendadak galau/gelisah di dalam hatinya, teringat bahwa si Dewi bukan sejenis manusia, menjadi hilang keinginannya, Senopati berkeliling melihat-lihat keasrian taman puri si Dewi.

(5)
Udyana asri dinulu, balene kencana nguni, jaman purwa kang rinebat, Gathutkaca lan wre (k.238) putih, bitutaman dirgantara, bale binucal jeladri,

Keasrian/keindahan taman dipuja-puja, ranjang emas kuno, jaman ketika Gathutkaca dan kera putih merebutkannya, berkelahi di angkasa, ranjang terlempar ke samudera.

(6)
Dhawah teleng samodra gung, kang rineksa sagung ejim, asri plataran rinengga, sinebaran gung retna di, widuri mutyara mirah, jumanten jumrut mawarni.

Jatuh di tengah-tengah samudera raya, yang dijaga oleh mahluk halus, halaman yang asri, bertebaran intan-intan megah, mutiara merah, dan bermacam-macam batu jamrud.

(7)
De jubine kang bebatur, grebag suwasa kinardi, sinelan lawan kencana, ing tepi selaka putih, sinung ceplok pan rinengga, rukma tinaretes ngukir.

Lantainya agak tinggi, dengan hiasan emas, ditepinya emas putih, berbentuk bunga-bunga mekar dan hiasan berukir-ukiran

(8)
Tinon renyep ting pelancur, rengganing kang bale rukmi, sumorot sundhul ngakasa, gebyaireng renggan adi, surem ponang diwangkara, kasorotan langen puri.

Terasa sejuk berkilauan, hiasan di ranjang terlihat bercahaya yang sampai menyentuh angkasa, gemerlap cahaya megah, matahari terlihat meredup terkena sorotan cahaya dari puri si Dewi.

(9)
Gapurane geng aluhur, sinung pucak inten adi, sumorot mancur jwalanya, lir pendah soroting awi, yen dalu kadi rahina, siyang latriya pan sami.

Gapura tinggi megah, diatas puncak berhias intan sangat indah, memancarkan cahayanya, seperti sinar matahari, jika malam seperti siang, siang dan malam menjadi sama.

(10)
Sigeg rengganing kadhatun, wau ta Sang Senapati, kelawan sang narpaning dyah, tan kena pisah neng wuri, anglir mimi lan mintuna, nggennya mrih lunturireng sih.

Cukup dulu cerita dalam keadaan istana si Dewi, tadi tersebut sang senopati, dan sang Dewi, tidak bias dipisahkan, seperti Mimi dan Mintuno, mereka saling membuka hati.

(11)
Yen tinon warna Jeng Ratu, wus wantah habsari swargi, tuhu Sang Dyah Wilutama, kadya murca yeng ingeksi, sakpolahe karya brangta, ayune mangrespateni.

Ketika terlihat wajah sang ratu, sudah melebihi wajah Dewi Habsari di surga, sama persis seperti sang Dewi Wilutama, keluar terlihat tingkah lakunya membangkitkan birahi, kecantikannya menawan hati.

(12)
Kadigbyaning warna sang ru- (k.239) m, ping sapta sadina salin, ayune tan kawoworan, terkadhang sepuh nglangkungi, yen mijil pradanggapatya, lir dyah prawan keling sari.

Sang Ratu mempunyai kesaktian berubah wujud, berubah 7 kali sehari, kecantikan yang terpancar sempurna, terkadang sangat tua, jika terdengar musik tingkah laku si Dewi berubah enjadi seperti gadis kelingsari.

(13)
Yen sedhawuh jwaleng sang rum, lir randha kepaten siwi, yen praptaning lingsir wetan, warna wantah widadari, tengange lir dyah Ngurawan, Kumuda duk nujwa kingkin.

Apabila sedang memberi perintah, seperti janda yang anaknya meninggal, ketika menjelang ufuk timur muncul wujud berubah seperti bidadari, seperti dewi dari Kurawa, berkuda seperti sedang susah.

(14)
Lamun bedhug kusuma yu, mirip putri ing Kedhiri, yen lingsir lir Banowatya, lamun asar pindha Ratih, cumpetingsapta sadina, yen latri embah nglangkungi.

Ketika tabuh bedug, mirip putrid di kedhiri, ketika matahari terbenam seperti Banowati, ketika asar berubah seperti Dewi Ratih, 7 kali sehari, ketika malam semakin bertambah cantik.

(15)
Lawan sinung sekti punjul, dyah lawan samining ejim, warna wigya malih sasra, mancala putra pan bangkit, mila kedhep ing sakjagad, sangking sektining sang dewi.

Serta mempunyai kesaktian tinggi, Ratu dengan sesame mahluk halus, mampu berubah wujud 1000 kali, bias berubah menjadi laki-laki, sehingga berada di seluruh dunia, karena sangat saktinya sang Dewi.

(16)
Sinten ingkang mboten teluk, gung lelembut Nungsa Jawi, pra ratu wus teluk samya, mring Ratu Kidul sumiwi, ajrih asih kumawula, bulu bekti saben warsi.

Siapa yang tidak tunduk, seluruh mahluk halus dan bangsa manusia di Jawa, para Raja-raja sudah takluk semua, hanya kepada Ratu Kidul saja, mereka takut dan mengabdi, memberi pengabdian setiap tahun.

(17)
Ngardi Mrapi Ngardi Lawu, cundhuk napra ing jeladri, narpa Pace lan Nglodhaya, Kelut ngarga miwah Wilis, Tuksanga Bledhug sumewa, ratu kuwu sami nangkil.

Gunung Merapi dan gunung Lawu, bermahkota di samudera, Raja Pace dan Nglodhaya, Gunung Kelut dan gunung Wilis, Mata air sembilan Bledug dan Ratu Kuwu semua hadir.

(18)
Wringinpitu Wringinrubuh, Wringin-uwok, Wringinputih, ing landheyan Alas Ngroban, sedaya wus kereh jladri, Kebareyan Tega- (k.240) l layang, ing Pacitan miwah Dlepih.

7 Beringin, Beringin tumbang, Beringin besar, Beringin putih, di tengah-tengah alas Ngroban, semua sudah dikuasai samudera, Kebareyan tegal laying, di Pacitan serta Dlepih.

(19)
Wrata kang neng Jawa sagung, para ratuning dhedhemit, sami atur bulubektya, among Galuh kang tan nangkil, kereh marang Guwatrusan, myan Krendhawahana aji.

Merata di seluruh Jawa, para Raja-raja mahluk halus, semua memberi pengabdian, hanya Galuh yang tidak hadir, diperintah oleh Guwatrusan, menghadapi Krendhawahana aji.

(20)
Wuwusen malih Dyah Kidul, lawan Risang Senapati, menuhi kang boja-boja, minuman keras myang manis, kang ngladosi pra kenyendah, sangkep busana sarwa di.

Menceritakan kembali tentang Ratu Kidul dengan sang senopati, lengkap dengan makanan, minuman keras dan minuman manis, yang melayani para gadis-gadis yang berpakaian bagus-bagus.

(21)
Bedhaya sumaos ngayun, gendhing Semang munya ngrangin, weh kenyut tyasnya kang mriksa, wileting be (ksa) mrak ati, keh warna solahing beksa, warneng bedhaya yu sami.

Para penari bedhaya maju kedepan, musik gending semang berbunyi nyaring, yang melihatnya membuat rasa hati tenteram, gerakannya menawan hati, bermacam-macam gerakan penari.

(22)
Senapati gawok ndulu, mring solahe dyah kang ngrangin, runtut lawan kang bredangga, wilet rarasnya ngrespati, acengeng dangu tumingal, de warneng dyah ayu sami.

Senopati terheran-heran terpesona melihat gerakan-gerakan yang gemulai, sesuai dengan alunan irama musik, irama tembangnya menentramkan hati, sampai lama terpana melihatnya, wajah dewi-dewi yang cantik-cantik.

(23)
Tan lyan kang pineleng kayun, mung juga mring narpa dewi, brangteng tyas saya kawentar, de sang dyah punjul ing warni, kenyataning waranggana, sorote ngemas sinangling.

Tiada yang lain yang dipikirkan hanya di depannya, juga hanya kepada Ratu Kidul, hatinya semakin berdebar-debar, karena sang Dewi lebih unggul kecantikannya dibandingkan penyanyi, Dewi bercahaya seperti emas dicuci.

(24)
Wuyunging driya sinamun, tan patya magumbar liring, tan pegat sabil ing nala,wau Risang Senapati, enget yen dene jinisnya, dyah narpa tuhuning ejim.

Senopati menutup-nutupi asmara dalam hatinya, tidak terus mengumbar pandangannya hanya sebentar-bentar saja memandang Ratu, tidak berhenti pula perang dalam bathin hatinya, sang senopati teringat bahwa Ratu Kidul bukan dari golongan sejenisnya, sang Ratu yang sebenarnya adalah mahluk halus/jin.

(25)
Rianos jroning kung, 1) kagugu saya ngranuhi, temah datan antuk karya, (k.241) nggenira mrih mengku bumi, nging narpeng dyah wus kadriya, mring lungite Senapati.

Dalam perasaan senopati terdalam, 1) mengikuti rasa penasaran, agar berhasil tujuan, (k.241) untuk menguasai bumi, akan tetapi sang Ratu sudah tahu, dengan apa yang dipikirkan senopati.

(26)
Ngunandika dalem kalbu, narpaning dyah ing jeladri, “ Yen ingsun tan nggango krama, nora kudu dadi estri, enak malih dadi priya, nora na kang mejanani.

Berbicara dalam hati, sang Ratu di samudera, “Jika saya tidak perlu menikah, tidak harus menjadi permaisuri, lebih baik mejadi laki-laki, tidak ada yang mempengaruhi.

(27)
De wis dadi ujar ingsun, anggon sun wadad salamining, ngarsa-arsa pengajapan, temah arsa ngapirani, sunbekane mengko jajal, piyangkuhe ngadi-adi.

Sudah menjadi sumpah saya, berniat untuk menyendiri selamanya, menanti-nanti pengharapan, akan menjadi merepotkan, nanti aku mencoba, keangkuhannya menjadi-jadi.

(28)
Wong agunge ing Metarum, dimene lali kang nagri, krasan aneng jro samodra”, kawentar mesem sang dewi, tumungkul tan patya ngikswa, Senapati tyasnya gimir.

Orang besar di Mataram, agar lupa dengan negaranya, kerasan (suka tinggal) di samudera”, sang Dewi mengumbar senyum, kepala menunduk dengan mata menoleh sedikit melihat senopati, hati Senopati menjadi penasaran.

(29)
Duk liniring mring sanging rum, tambuh surasaning galih, wusana lon anandika, “Dhuh wong ayu karsa mami, wus dangu nggoningsun ningal, mring langene ing jro puri,

Mencuri pandang kepada sang Dewi yang harum, menjadi tidak menentu perasaannya, sambil berbicara halus “Duh putri cantik yang kuinginkan, sudah lama aku memandang, kepada keindahan dalam puri,

(30)
Pesareyanta durung weruh, kaya ngapa ingkang warni”, nging dyah “Tan sae warninya, yen kedah sumangga karsi, sinten yogi ndarbenana, lun mung darmi anenggani.”

Tempat tidurmu belum tahu, seperti apa kelihatannya tempat tidurmu itu”, Ratu menjawab, “Tidak bagus wujudnya, jika harus melihatnya terserah Anda, siapa yang pantas memiliki, saya hanya sekedar menjaga saja.”

(31)
Wusira gya jengkar runtung, Sang Sena lan narpa dewi, rawuh jrambah jinem raras, alon lenggah sang akalih, mungging babut pan rinengga, Se- (k.242) napati gawok ngeksi.

Segera mereka beranjak bersama, sang senopati dan sang Dewi, datang ke tempat tidur yang nyaman, keduanya duduk pelan-pelan, diatas permadani yang rapi, Senopati terheran-heran melihatnya,

(32)
Warneng pajang sri kumendhung, tuhu lir suwargan ngalih, sang dyah matur marang priya, “Nggih punika ingkang warni, tilemane randha papa, labet tan wonten ndarbeni.”

Bermacam-macan hiasan Sri Kumendhung dipajang, terasa seperti syurga berpindah, Sang Ratu berbicara pada sang senopati, “Ya begini lah wujudnya, tempat tidur si janda yang sengsara, karena tidak ada yang memiliki,”

(33)
Kakung mesem nglingira rum, ”Anglengkara temen Yayi, ujare wong randha dama, ing yektine angluwihi, kabeh purane pra nata, tan padha puranta Yayi.

Senopati tersenyum sambil melirik si Dewi yang harum, “Kasihan sekali kamu Dik, katamu hanya seorang janda tapi kenyataanya melebihi semua istana, tidak ada yang menyamai istana dinda.

(34)
Pepajangan sri kumendhung, ingsun tembe nggonsun uning, pesareyan warna endah, pantes lawan kang ndarbeni, warna ayu awiraga, bisa temen ngrakit-ngrakit.

Hiasan Sri Kumendhung, baru kali ini aku melihatnya, tempat tidur serba indah, pantas sesuai yang memilikinya, bentuk yang sangat cantik, pandai sekali merangkainya.

(35)
Baya sungkan yen sun kondur, marang nagari Matawis, kacaryan uningeng pura, cacatira mung sawiji, purendah tan nganggo priya, yen darbea kakung becik.

Aku menjadi malas pulang ke negeri Mataram, setelah melihat-lihat istana, rasa kecewa hanya satu, lebih bagus tidak ada lelaki, jika ada yang memiliki pria baik

(36)
Wanodyane dhasar ayu, imbang kakunge kang pekik, keng runtut bisa mong garwa, wonodyane bekti laki, tur dreman asugih putra”, Senapati denpleroki.

Dasarnya wanitanya cantik seimbang dengan pria yang baik, yang setia kepada isteri, wanitanya juga setia pada suami, juga suka mempunyai anak banyak”, Senopati melirik menggoda dengan matanya.

(37)
Dyah merang lenggah tumungkul, sarwi mesem turira ris, “Sae boten mawi priya, mindhak pinten tyang akrami, eca mung momong sarira, boten wonten kang ngrego-(k.243) ni.

Sang Dewi duduk dengan kepala menunduk, sambil tersenyum berbicara halus, “Bagus tidak memiliki suami, bertambah apa orang bersuami, enak sendirian saja, tidak ada yang mengganggu (k.243).

(38)
Eca sare glundhung-gundhung, neng tilam mung lawan guling, lan tan ngronken keng ladosan”, Senapati mesem angling, “Bener Yayi ujarira, enak lamban sira Yayi.

Enak tidur sendiri berguling kesana kemari, diatas tikar bersama guling, dan tidak ada yang harus dikerjakan”, Senopati terlihat tersenyum, Benar dinda katamu, enak sendirian kamu dinda.

(39)
Mung gawoke Nimas ingsun, na wong ledhang aneng gisik, tur priya kawelas arsa, lagya rena wrin in jladri, semang ginendeng pineksa, kinon kampir mring jro puri.

Hanya heran saya kepada dinda, ada seorang lelaki di pesisir pantai, apalagi pria yang meminta belas kasihan, sedang melihat samudera, malah digandeng paksa, disuruh mampir/ singgah ke dalam puri.

(40)
Jeng Ratu kepraneng wuwus, merang tyas wetareng lungit, kakung ciniwel lambungnya, mlerok mesem datan angling, Senapati tyasnya trustha, wusana ngandika aris.

Sang Ratu terpana akhirnya, hatinya merasa tersentuh, lelaki itu dicubit perutnya, melirik tersenyum menggoda senopati, menyentuh hati senopati, selanjutnya berbicara lembut.

(41)
”Ya sun pajar mirah ingsun, nggon sun praptaneng jeladri, labet sun anandhang gerah, alama tan antuk jampi, kaya paran saratira, usadane lara brangti.

“Ya aku ini berbicara secara mudahnya saja, aku datang ke samudera karena sedang sakit, sudah lama tidak mendapat obat, seperti apa syaratnya obat sakit asmara.

(42)
Mider ing rat nggon sun ngruruh, kang dadi usadeng kingkin, tan lyan mung andika mirah, pantes yen dhukum premati, bisa mbirat lara brangta, tulus asih marang mami.”

Aku sudah keliling dunia untuk berusaha, yang menjadi penawar sakit tidak lain hanya kamu, pantas jika dihukum, yang bisa menyembuhkan sakit asmara, kasih sayang tulus kepadaku.”

(43)
Sang dyah maleruk tumungkul, uning lungit Senapati, nging tansah ngewani priya, mangkana usik sang dewi, “Wong iki mung lamis ujar, sunbatanga nora slisir

Sang Dewi cemberut menunduk, sambil memandang Senopati, tapi selalu berani dengan lelaki, demikian goda sang Dewi kepada senopati, “ Anda ini hanya berbicara bohong, perkiraan saya tidak lah salah.

(44)
Minta tamba ujaripun, pan dudu lara sayekti, lara arsa madeg nata, ewuh mungsuh guru darmi, wus persasat ingkang yoga, kang amengku Pajang nagri.”

Meminta obat katanya, tapi tidak sungguh-sungguh sakit, sakitnya karena berkehendak mejadi Raja, tidak enak bermusuhan dengan sesama guru, sudah dititahkan yang memegang kekuasaan negeri Pajang.”

(45)
Wusana dyah matur kakung, “Kirang punapa sang (k.244) pekik, kang pilenggah ing Mataram, lelana prapteng jeladri, tan saged lun sung usada, nggih dhateng keng gerah galih.

Akhirnya sang Dewi berbicara kepada senopati, “Kurang apakah sang pangeran tampan, yang menduduki Mataram, berkelana sampai samudera, tidak bisa menyembuhkan yang menjadi sakit hatinya.

(46)
Yekti amba dede dhukun, api wuyung ingkang galih, mangsi dhatenga palastra, tur badhe nalendra luwih, kang amengku tanah Jawa, keringan samining aji.

Sungguh saya bukan dukun, api asmara yang anda pikirkan, tidak mungkin menyebabkan kematian, apalagi akan menjadi Raja dari para raja-raja, yang menguasai tanah jawa, ditakuti oleh sesame raja.

(47)
Kang pilenggah ing Matarum, mangsi kirangana putri, ingkang sami yu utama, kawula estri punapi, sumedya lun mung pawongan, yen kanggea ingkang cethi.

Yang menduduki Mataram tidak mungkin kekurangan wanita, yang cantik-cantik dan utama, kaum wanita yang bagaimanapun, tersedia para nyai, jika dibutuhkan secara pasti.

(48)
De selamen lamban ulun, kepengin kinayan nglaki, kang tuk bulu bekti praja, labet blilu tyang pawestri, tan wigya mangenggar priya, labet karibetan tapih.

Selama saya menyendiri, pernah mempunyai keinginan bersuami, yang berbakti kepada kerajaan, karena malas seorang wanita, tidak pandai terhadap pria, karena terlilit kain.

(49)
Lamun kanggeya wak ulun, kalilan among anyethi, ngladosi Gusti Mataram”, wau ta Sang Senapati, sareng myarsa sebdeng sang dyah, kemanisan dennya angling.

Meskipun badan saya dibutuhkan, diijinkan hanya untuk berbakti kepada Gusti Mataram,” Sang Senopati mendengarkan perkataan Dewi sambil menikmati melihat kemanisan Ratu Kidul.

(50)
Saya tan deraneng kayun, asteng dyah cinandhak ririh, sang retna sendhu turira, “Dhuh Pangeran mangke sakit, kadar ta arsa punapa, srita-sritu nyepeng driji.

Semakin lama tidak bisa ditahan lagi hati Senopati, tangan Dewi dipegang pelan-pelan, sang Ratna Dewi berkata lembut manja, “Dhuh Pangeran nanti sakit, sebetulnya pangeran mau apa, tiba-tiba meremas-remas jari tangan saya.

(51)
Asta kelor driji ulun, yen putung sinten nglintoni, nadyan wong agung Mataram, mangsi saged karya driji”, kakung mesem lon delingnya, “Dhuh wong ayu sampun runtik.

Jari tangan saya kecil-kecil, jika patah siapa yang akan mengganti, meskipun orang besar Mataram tidak mungkin menciptakan jari tangan”, Senopati tersenyum sambil berkata pelan, “Dhuh wanita cantik jangan marah.

(52)
Nggon sun nyepengasteng masku, Yayi aja salah tampi, mung yun u-(k.245) ning sotyanira”, dyah narpa nglingira aris, “Yen temen nggen uning sotya, sing tebih andene keksi.

Saya memegang tanganmu, dinda jangan sampai salah terima, hanya mau melihat ( k.245) cincinmu”, Lalu Dewi berkata halus, “Jika benar Anda hanya mau melihat cincin saya, bisa melihat dari jauh saja.

(53)
Yekti dora arsanipun, sandinya angasta driji, yektine mangarah prana, ketareng geter ing galih, dene durung mangga karsa, paring jangji sih mring cethi.”

Pasti bukan kehendak sesungguhnya, berpura-pura memegang jemari, pasti berkehendak sesuatu, terlihat jelas dipikiran, beri lah janji cinta kasih yang pasti.”

(54)
Kakung mesem sarwi ngungrum, swara rum mangenyut galih, narpaning dyah wus kagiwang, mring kakung asihnya kengis, esemnya mranani priya, Senapati trenyuh galih.

Senopati merayu dengan bernyanyi sambil tersenyum, suaranya merdu menggugah hati, Ratu cantik sudah terpesona, kepada senopati cintanya terbuka, senyum ratu menawan pria, Senopati tersentuh hatinya.

(55)
Narpaning dyah lon sinambut, pinangku ngras kang penapi, sang dyah tan lengganeng karsa, labet wus katujweng galih, jalma-jalma dera ngantya, pangajapan mangke panggih,

Sang Dewi disambut perlahan, diletakkan diatas pangkuan senopati, sang Dewi tidak menolak keinginan, yang tertuju kepada kekasih hati, terpenuhi keinginan mahluk-mahluk itu.

(56)
Lan titisnya Sang Hyang Wiku, kang mengkoni ngrat sekalir, Senapati nir wikara, karenan mring narpa dewi, tansah liniling ngembanan, de lir ndulu golek gadhing.

Dan titisan Sang Hyang Wiku, yang menguasai dunia, Senopati tanpa halangan, kehendak kepada sang Dewi, saling melihat mesra dalam pangkuan, seperti boneka golek gadhing.

(57)
Binekta manjing jinem rum, tinangkeban ponang samir, kakung ndhatengaken karsa, datansyah bremara sari, mrih kilang mekaring puspa, kang neng madya kuncup gadhing.

Dibawa masuk ke tempat tidur yang harum, tertutup kain selendang, senopati mendatangkan hasrat, selalu mesra, kepada ratu yang seperti bunga sedang mekar, yang berada ditengah kuncup gading.

(58)
Jim prayangan miwah lembut, neng jrambah sami mangintip, mring gusti nggen awor raras, kapyarsa pating kalesik, duk sang dyah katameng sara, ngrerintih sambate (k.246) lalis.

Jin setan parahyangan serta mahluk halus, mereka mengintip, kepada gusti yang bercinta, terdengar saling berbisik, ketika sang Ratu terkena tajam, mengadu merintih (k.246).

(59)
Kagyat katemben pulang yun, sang dyah duk senanira nir, nggeladrah rempu ning tilam, ukel sosrah njrah kang sari, kongas ganda mrik mangambar, bedhahe pura jeladri.

Terkejut ketika sang Dewi kehilangan selaput daranya, pecah membanjiri di tempat tidur, sanggul rambutnya menjadi berantakan, tercium bau semerbak harum, rusaknya pura samudera.

(60)
Dyah ngalintreg neng tilam rum, jwala nglong kerkatira nir, Senapati wlas tumingal, sang dyah lin sinambut ririh, sinucen dhateng patirtan, wusira gya lenggah kalih.

Dewi terbaring lemah di tempat tidur harum, selaput daranya hilang, Senopati memandang dengan belas kasihan, sang Dewi diambilnya pelan-pelan, lalu keduanya duduk.

(61)
Dyah sareyan pangkyan kakung, tan pegad dipunarasi, mring kakung Sang Senapatya, nyengkah ngeses sang retna di, raket sih kalihnya sama, penuh langen ngasmara di.

Dewi tiduran diatas pangkuan Senopati, tidak henti-hentinya diciumi oleh Senopati, keduanya saling dekap erat, penuh cinta.

(62)
Cinendhak rengganing kidung, pasihane sang akalih dugi ngantya sapta dina, Senapati neng jeladri, ing mangke arsa kondura, marang prajanya Matawis.

Irama kidung yang pendek, kemesraan keduanya sampai tujuh hari, Senopati tinggal di dalam samudera, yang nanti akan pulag ke kerajaan Mataram.

(63)
Kakung nabda winor rungrum, “Dhuh mas mirah ingsun Gusti, ya sira karia arja, ingsun kondur mring Matawis, wus lama aneng samodra, mesthi sun diarsi-arsi,

Senopati berbicara dengan bernyanyi, “Dhuh emas merahku, ya semoga kamu bahagia, aku pulang ke Mataram, sudah lama di samudera, pasti aku sudah ditunggu-tunggu,

(64)
Marang wadyengsun Matarum, wus dangu tugur ing nagri”, narapaning dyah sareng myarsa, yen kakung mit kondur nagri, sekala manca udrasa, druwaya badra dres mijil.

Oleh rakyatku di Mataram, sudah lama menjaga negeri”, Dewi mendengarkan sambil merasa sedih jika senopati pamit pulang ke negerinya, menangis sedih, Rembulan menjadi menangis deras.

(65)
Dereng dugi onengipun, mring kakung kemangganing sih, alon lengser sangking pangkyan, udrasa sret dennya angling, “Kaya mengkono (k.247) rasanya, wong tresna dentimbangi.

Belum sampai yang di pikirannya, kepada senopati yang dicintai, perlahan-lahan turun dari pangkuan, terdengar isak tangis Ratu, “ Seperti ini lah (k. 247) rasanya mencintai yang dibandingkan.

(66)
Kaya timbang tresnaingsun, yen sun bisa nyaput pranti, myang nguja sakarsanira, mesthi kanggo nggonsun nyethi”, kakung uning wus kadriya, mring udrasa sang retna di.

Seperti membandingkan cintaku, seandainya aku bisa memberi, menuruti semua kehendakmu, pasti saya berguna”, Senopati sudah tahu dalam hati, atas tangisan sang Ratna.

(67)
Lon ngudhar paningsetipun, cindhe puspa pinrada di, dyah sinambut gya ingemban, binekta mider kuliling, marang kebon petamanan, kinidung ing pamijil.

Pelan-pelan melepas kain setagen, berhias bunga-bunga emas, Dewi disambut diemban/diangkat, dibawa keliling-keliling ke kebun taman sambil dinyanyikan oleh Senopati.

MIJIL

(1)
“Dhuh mas mirah aja sumlang ati, titenana ingong, lamun supe marang sira Angger, marcapada myang delahan Yayi, nggoningsun mangabdi, ditulus sihipun.

“Dhuh emas merahku jangan khawatir hatimu, lihatlah saya, jika lupa kepadamu, dari dunia sampai akherat Dinda, aku mengabdi cinta tulus.

(2)
Nadyan ingsun pas wus sugih krami, tur sami yu kaot, genging tresna wus tan liya Angger, ingkang dadi teleng ingsun kang sih, mung andika Gusti, nggen sun ngawu-awu.

Walaupun saya sudah punya banyak isteri, dan cantik-cantik, besar cintaku tidak lain adalah kamu dinda, yang menjadi tanda kuat cinta, hanya dirimu adinda Gusti, kepadamu saya tergila-gila.

(3)
Malawija neng jro tilam sari, tan lengganing pangkon, mung pun kakang timbangana Angger, ingsun yekti anandhang wiyadi, dereng antuk jampi, tan lyan sira masku,

Kenapa saya berlebihan ditempat tidur, tidak melepaskan pangkuan, hanya kakanda pula daripada dinda, saya sungguh sedang menderita sakit, belum mendapatkan obat, tidak lain hanya lah kamu emasku,

(4)
Ambirata rentenging tyas kingkin, satemah sun-antos, nadyan kinen laju jrak neng kene, tan suminggah sakarsa mestuti, nging kapriye Yayi, solahe wadyengsun.”

Yang bisa menghilangkan hati sedih, jadi saya tetap menunggu-nunggu, walaupun harus berjalan jauh sampai disini, tidak ingin sembunyi berusaha, tetapi bagaimana dengan rakyatku Dinda.”

(5)
Narpaning dyah tyasnya lir jinait, kapraneng pamuwos, kemanisen kakung pangrengihe, (k.248) dadya luntur sihira sang dewi, mring kakung lon angling, “Pangran nuwun tumrun.”

Hati Ratu tersentuh, terpesona oleh perkataan senopati yang manis minta dimengerti, (k.248) menjadi pudar sihirnya sang Dewi, kepada senopati berkata pelan, “Pangeran saya minta turun.”

(6)
Sing ngembanan wus tumrun sang dewi, long lenggah sekaron, malih sang dyah matur mring kakunge, “Pangran nuwun ngapunten kang cehti, dene kumawani, dhoso gungan kakung.

Sang Dewi turun dari pengembanan/ bopongan, kemudian duduk diatas bunga, kembali Dewi berbicara kepada senopati, “Pangeran, saya mohon sungguh-sungguh dimaafkan, karena terlalu berani banyak kepada lelaki/senopati.

(7)
Datan langkung panuwuning cethi, sih tresnanya yektos, sampun siwah putra wayah tembe, tinulusna darbe cethi mami”, kakung ngraketi ngling, dyah ingras pinangku.

Tidak lebih permohonan saya, cinta kasih yang nyata, jangan berubah sampai anak cucu nanti, ketulusan menjadi milikku”, Senopati langsung memeluk, Dewi dipangku.

(8)
“Ya mas Mirah aja sumlang galih, sok bisaa klakon”, malih sang dyah matur mring kakunge, “Nggih Pangeran yen wus mangguh westhi, praptanireng jurit, mrih enggal lun tulung.”

“Ya emas merahku jangan khawatir hatimu, nanti akan terjadi”, Dewi berbicara lagi kepada senopati, “Ya Pangeran jika sudah menjadi sungkan nanti menghadapi perang, segera saya tolong.”

(9)
Magut sang dyah kakung lon winangsit, ubayaning temon, “Sedhakepa myang megeng napase, anjejaka kisma kaping katri, yekti amba prapti, ngirit wadya lembut.

Kepala Dewi mengangguk pelan sebagai tanda akhir pertemuan, “Sedekapkan tanganmu dengan menahan nafas, hentakkan kaki ke tanah 3 kali, saya pasti datang, membawa pasukan mahluk halus.

(10)
Lawan amba atur araneng jurit, mrih digbya kinaot, Tigan lungsungjagad nggih namine, dhinahara gung sawabe ugi, panjang yuswa yekti, kyating sara timbul.

Bersama saya serahkan pasukan, agar kekuatannya unggul, Telur Lungsung Jagad namanya, mendapat pengaruh besar juga, panjang umur pasti, kekuatan tumbuh pesat.

(11)
Lawan Lisah Jayengkatong nami, dewa kang sih mring ngong “, kalih sampun ngaturken kakunge, Senapati sawusnya nampeni, langkung trustheng galih, antuk sraneng pupuh.

Dengan minyak Jayengkaton namanya, Dewa yang memberi padaku”, kedua hal itu sudah diberikan kepada senopati, sudah diterima oleh senopati, bertambah senang hatinya, mendapat sarana untuk perang.

(12)
Malih sang dyah mangsit marang laki, ngelmining kerato- (k.249) n, mrih kinedhep mring lelembut sakeh, Senapati wus kadriyeng wangsit, wusana sang dewi, ngraket weceng kakung.

Kembali sang Dewi memberi pesan kepada senopati, ilmu dari keraton (k. 249), yang tersedia oleh semua mahluk halus, Senopati sudah menerima wangsit, selesainya Dewi memeluk erat Senopati.

(13)
“Dhuh Pangeran yen marengi karsi, ing panuwun ingong sampun age-age kondur mangke, wilangun lun yekti dereng dugi, paran polah mami, yen paduka kondur.”

“Dhuh Pangeran jika saya diperbolehkan meminta, saya minta jangan cepat-cepat pulang, menurut perhitungan saya belum sampai, seperti apa saya nanti, jika Paduka pulang.”

(14)
Raka ngimur mrih lipuri Yayi, “Adhuh mirah ingong kang sih tresna marang ing dasihe, myang sakjarwa wus sun trima Yayi, nging sun meksa amit, megat oneng masku.

Kanda Senopati menghibur Dinda Ratu, “Adhuh emas merahku yang aku cintai, saya sudah jelas menerima Dinda, hanya saja saya harus pamit, berpisah dengan mu emas merahku.

(15)
Aja brangta mirah wong akuning, lilanana ingong, ingsun kondur mring Mataram prajeng, nora lama mesthi nuli bali, mring pureng jeladri, tuwi dika masku,

Jangan sedih emas merah milikku, relakanlah saya, saya pulang ke kerajaan Mataram, tidak lama pasti akan kembali, ke puri samudera ini, menjenguk engkau emasku,

(16)
Saking labet datan betah mami, pisah lan mas ingong, sangking wrate wong mengkoni prajeng”, sang dyah ngungsep pangkyan ngling ing laki, “Pangran sampun lami, nggih nuntena wangsul.”

Saya sebenarnya sangat tidak kuat untuk berpisah dengan emasku, hanya karena berat beban saya menjaga menlindungi kerajaan”, Sang Dewi kemudian jatuh memeluk pangkuan Senopati, “Pangeran jangan lama, segera pulang kesini.”

(17)
Dugi nggusthi megat onenging sih, gya mijil sang anom Ratu Kidul ndherekken kondure, asarimbit kekanthen lumaris, rawuh Srimanganti, gya kakung nglingnya rum.

Sampai akhirnya Gusti Senopati mengakhiri kasih cinta, segera Ratu Kidul mengantarkan kepulangannya, saling menggandeng tangan harmonis, sampai di Srimanganti, Senopati segera melihat sang Dewi penuh rasa kasih.

(18)
“Wus suntrima sihira Mas Yayi, nggennya ngater mring ngong, among ingsun minta sihirangger, srana tumbal usadaning kingkin”, sang dyah manglegani, sih katresnane kakung.

“Sudah saya terima sihir mu Dinda Mas, olehmu menghantar saya, hanya saya minta sihirmu, sebagai sarana tumbal obat sakit asmaraku”, Sang Dewi memberi cintanya kepada Senopati.

(19)
Atur gantyan manglungken sing lathi, tinampen waja (k.250) lon, geregetan ginigit lathine, sang dyah kagyat raka sru pinulir, purna kang karon sih, sewangan lestantun.

Bergantian memberi ciuman bibir, diterima gigi secara pelan, mencium menggigit mesra, Sang Dewi kaget pada Senopati, setelah bercumbu, kunjungan selesai.

(20)
Senapati praptanireng njawi, puranya sang sinom, sirna wangsul keksi samodrane, Senapati nggenya napak warih, lir mangambah siti, tinindakkira laju.

Senopati telah sampai diluar pura sang Dewi, kembali menghilang samudera dari penglihatan, Senopati berjalan diatas air, seperti memijak tanah, dia berjalan terus.

(21)
Senapati sakpraptaning gisik, wespadeng pandulon, kang pitekur neng Parangtritise, wus saestu lamun guru yekti, niyakaning Sunan Adilangu.

Senopati sampai dipinggir pesisir pantai, melihat dengan waspada kepada seseorang yang berdiri tegak di Parangtritis, sudah merasa yakin bahwa dia adalah Guru Senopati, yaitu Sunan Adilangu.

(22)
Senapati gepah nggen mlajengi, mring guru sang kaot, prapta laju, mangusweng padane, pamidhangan ngasta mring sang yogi, luwarnya ngabekti, lengser lenggah bukuh.

Senopati segera menghampiri maha guru, dengan segera memberi hormat tunduk, tangan guru menyentuh sang anak/ murid, sebagai tanda diterimanya bakti sang Senopati, bergeser duduk sopan.

(23)
Sunan Adi gya ngandika aris, “Jebeng sokur ingong, lamun sira katemu neng kene, sabab ingsun arsa anjarwani, pratingkah kang yekti, mrih arjaning laku.

Sunan Adilangu berbicara dengan bijaksana, “Aku bersyukur anakku, aku bertemu denganmu disini, sebab aku menanti-nanti, apa yang sebenarnya terjadi dengan perjalananmu.

(24)
Sira sinung digdaya lan sekti, ngluwihi sagung wong, sun prelambang samodra pamane, kita ambah tan teles kang warih, lir dharatan ugi, tyasnya aja ujub,

Kamu sangat ampuh dan sakti, melebihi semua orang, misalnya saja tanda samudera yang kamu injak tanpa basah dengan air, seperti daratan saja, tetapi ingatlah hatimu jangan angkuh

(25)
Riya kibir sumengah tan keni, segahe Hyang Manon, nabi wali uliya sedene, yen neraka tuk sikuning Widi, karseng Hyang piningit, bab catur piyangkuh.

Sombong, riya, congkak tidak boleh, dibenci oleh Hyang Manon, nabi wali Allah juga membenci, jika neraka mendapat laknat dari Hyang Widi, diharapkan oleh Hyang tersembunyi, bab pembicaraan yang angkuh.

(26)
(k.251) Wong gumedhe anglungguhi kibir, sapa padha lan ngon, larangane Hyang Sukma kang murbeng, kibir riya piyangkuhing jalmi, mrih ngalema luwih, keringan sawegung.

(k.251) Orang yang sombong melebihi kibir. Barang siapa yang patuh pada larangan Hyang Sukma yang menciptakan alam dan seisinya, sombong dan riya adalah keangkuhan manusia, minta dipuji-puji berlebihan, semuanya itu tidak lah pantas

(27)
Amemadha marang ing Hyang Widi, wong pambeg mengkono, kalokeng rat mring praja liyane, ujubira piyangkuh ngengkoki, gawoka kang ngeksi, lumaku gumunggung.

Mempersamakan diri dengan Hyang Widi, orang seperti itu disemayami derajat dari raja-raja yang lainnya, perlihatkanlah kepribadianmu yang tidak angkuh, terlihat mempesona, berjalan anggun berwibawa.

(28)
Saksolahe was tan darbe maning, mung legane batos, sakeh patrap ja mengkono Jeneng, Senapati tuhunen kang kapti, lan sun plambang maning, kan tan lungguh ngelmu

Semua tingkah laku tidak ada yang mengganggu hati, tinggal tentramnya hati saja, banyak sekali perilaku jangan hanya menjadi nama saja, Senopati benar-benar hanya berfokus pada kehendak/cita-cita luhur, dan saya memperumpamakan lagi, yang tidak memiliki ilmu.

(29)
Aja sira pambeg kaya langit, bumi gunung argon, lan samodra plambang patrap kabeh, pan ya Kaki pambeganing langit, saengganing jalmi, ngendelken yen luhur.

Jangan lah kamu menengadah seperti langit (angkuh), bumi gunung tinggi, dan samudera semua contoh, ya Kaki pemberian langit, bermacam-macam manusia, mengandalkan yang luhur.

(30)
Bumi kandel jembare ngluwihi, dwi lir pambeging wong, wus tan ana mung iku dayane, myang kang gunung digung geng inggil,sagra jro tirtaning, gurnita kang alun,

Tebalnya bumi dan luasnya itulah dua sifat manusia, sudah tidak ada yang melebihi kekuatannya selain itu, kepada gunung-gunung besar dan tinggi, dalamnya samudera, gumelarnya ombak,

(31)
Ngendelaken digdayane sami, bumi samodra rob, langit arga pambeg jalma kabeh, wus tan ana polataning maning, sisip pambeg jalmi, kurang jembar kawruh.

Mengandalkan kekuatan mereka, bumi samudera banjir, semua langit dan gunung seperti sifat manusia, sudah tidak ada perbedaannya lagi, sedikit berbeda dengan manusia yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan.

(32)
Yen sira yun wigya dadi aji, mangreh sagunging wong, aja pegat istiyarmu Je- (k.252) beng, laku pasrah mring Kang Murbeng Bumi, neng musik di-ening, mrih uning Sukma Gung.

Jika kamu menjadi orang tinggi/ Raja, memerintah semua orang, jangan berhenti ikhtiarmu (k.252) Nak, berpasrah kepada Kang Murbeng Bumi (Penguasa Yang menciptakan Bumi dan seisinya), menjadi sekutu terhadap Sukma Gung (Hyang Besar Sukma)

(33)
Ginampangan seka karseng Widi, di-terang pandulon, aja sereng sakpekoleh bae, ngibadaha nglungguhana gami, nging driya dieling, mrih manise wadu.

Secara mudah terwujud kehendak dari Hyang Widi, berfokus lah pada pandangan/tujuanmu, jangan sembarangan bertingkah seenaknya saja, beribadah lah memeluk agama, selalu hati berwaspada kepada manisnya wanita.

DHANDHANGGULA

(1)
Lawan Jebeng ya sun Tanya yekti, antuk apa sira seka sagra”, Senapati lon ature, “Inggih binektan ulun, Tigan lungsungjagat ken nedhi, lan Jayengkaton lisah”, dwi serana katur, sang wiku wrin lon delingya, “Katujone durung kongsi sira bukti, yen wisa dadi apa.

Kepadamu anakku aku bertanya, kamu mendapat apa dari segoro/samudera”, Senopati menjawab pelan, “Ya saya diberi Telur Lungsung Jagad yang disuruh memakannya, dan Minyak Jayengkaton”, Keduannya adalah pemberian, sang Wiku sudah menyadarinya dan berkata secara halus, “Untung saja kamu belum membuktikannya, jika sudah dimakan mau jadi apa kamu Nak.

(2)
Temah antuk sengsareng ngaurip, yekti wurung sira dadi nata, nggonirarsa mengku ngrate, sida neng samodra gung, datan bisa mulih Matawis, de wadyanta tan wikan, myang garwa putramu, labete wus salin tingal, kita dadi jodhone Ni Kidul mesthi, sabab nir manungsanya.

Hanya mendapat hidup yang sengsara, pasti gagal keinginanmu menjadi Raja memerintah kerajaan malah terperangkap di samudera luas, tidak bisa kembali ke Mataram, rakyatmu dan anak isterimu tidak akan melihatmu karena kamu sudah berubah wujud, karena kamu menjadi lelaki/suami Ratu Kidul, menjadi hilang wujud manusiamu.

(3)
Maneh Jebeng sun Tanya kang yekti, sira remen marang narpaning dyah, kaya ngapa suwarnane”, Senapati lon matur, “Wananipun ayu nglangkungi, saktuwuk dereng mriksa, keng (k.253) kadya Dyah Kidul”, sang wiku mesem ngandika, “Kesamaran kita Jebeng Senapati, kena ngayu sulapan.

Kembali saya bertanya kepada mu dengan pasti, kamu suka kecantikan sang Ratu, seperti apa wajahnya”, Senopati menjawab pelan, “Wajahnya sangat cantik, seumur hidup saya belum pernah melihat, yang seperti (k.253) Dyah Ratu Kidul”, Sang Wiku tersenyum berbicara, “Kamu terkena sihirnya anakku, itu hanya wujud yang disulap.

(4)
Sabab sira durung sidik ngeksi, nguni sun wus namun manjing pura, dyah supine ya suncolong, neng jenthik driji sang rum, iki warna delengen Kaki”, kagyat Sang Senapatya, nggenira andulu, de supe langkung gengira, pan sakwengku tebok bolonging li-ali, tumungkul Senapatya.

Sebab kamu belum pernah melihat sebelumnya, dulu saya sudah pernah masuk ke pura, aku mencuri cincin dari jari kelingking sang Ratu, ini wujud sebenarnya sang Ratu silahkan melihat anakku”, senopati terkejut, melihat cincin yang sangat besar, sebesar “tebok” lubang cincin, Senopati merunduk memperhatikan.

(5)
Driya maksih maiben ing galih, Sunan Adi ing tyas wus waskitha, Senapati tyas sandeyeng, wusana ngling sang wiku, “Payo Jebeng ya padha bali,mumpung narpeng dyah nendra,katon warna tuhu, mengko Jebeng wespadakna”, ri wusira Jeng Sunan lan Senapati, linggar manjing samodra.

Saya masih merasa ragu dalam hati, Sunan Adilangu menyadari dalam hatinya, hati senopati bimbang, lalu melihat kepada sang Wiku, “Ayo Nak kita pulang, mumpung Ratu sedang tidur, nanti kamu bisa memperhatikannya lagi” setelahnya Kanjeng Sunan Adilangu dan senopati berabjak meninggalkan samudera.

(6)
Sakpraptaning jro pureng jeladri, Ratu Kidul wus kepanggih nendra, nglenggorong langkung agenge, lukar ngorok mandhekur,rema gimbal jatha mangisis,panjangnya tigang kilan, sakcarak gengipun, kopek nglembereh sakiyan, Senapati kamigilan wrin ing warni, tansah legek tan nebda.

Sesampainya di pintu samudera, diketahui bahwa Ratu Kidul sudah tidur, tidur telentang badannya sangat besar, tidur tanpa pakaian dan suara mendengkur, rambutnya gimbal/ gembel dan gigi siungnya keluar tajam, panjangnya 3 kali jengkal tangan, sebesar “carak”, payudaranya turun menggantung, Senopati menggigil ketakutan melihat wujudnya, sangat terkejut sampai tanpa bicara.

(7)
(k.254) Sunan Adi nebdeng Senapati, “Jebeng iku warnane sanyata, kang bisa ayu sulape, linulu mring Hyang Agung, lamun wungu sakarep dadi, bisa salin ping sapta, sakdina warna yu, yen wis tutug pandulunya, payo mulih bok menawi mengko tangi, gawe rengating driya.”

(k.254) Sunan Adilangu berkata kepada Senopati, “Nak itu lah wujud sebenarnya Ratu Kidul, yang bisa berubah menjadi cantik karena sulapan sihir, “linulu” kepada Hyang Agung, ketika bangun berubah lagi, bisa berubah selama tujuh (7) kali, dalam satu hari, menjadi cantik, kalau kamu sudah puas melihantnya mari kita pulang, kemungkinan dia nanti bangun, membuat sakit hati.”

(8)
Wusnya nulya kentar pyagung kalih, ing semarga Sunan tansah jarwa, “Ya sun tan malangi Jebeng, nggonira kita wanuh, lan dyah narpa sakkarsa Kaki, wis bener karsanira, nging ta cegah ingsun, wenangira mung persobat, sabab iku kang rumeksa Pulo Jawi, wenang sinambat karsa.

Setelah itu kedua pembesar beranjak pergi, di perjalanan Sunan berbicara, “Ya saya tidak menghalangi kamu berkenalan dengan Ratu Kidul, sudah benar keinginanmu, terserah kamu, hak kamu berteman, sebab itu yang menyatukan Pulau Jawa, berhak meminta bantuan.

(9)
Mayo padha mulih mring Matawis, ingsun arsa kampir wis manira”, wusnya dwi gancang tindake, Sunan ing Ngadilangu, dhinerekken lan Senapati, tindakira lir kilat, sakedhap prapta wus, njujug dalem pepungkuran, Sunan Adi lawan wayah Senapati, arsa ngyektekken srana.

Mari kita pulang ke Mataram, saya mau singgah di rumahmu”, ayo percepat perjalanan kita, Sunan Adilangu diikuti oleh Senopati, jalan mereka secepat kilat, sekejap sudah sampai, langsung menuju rumah belakang, Sunan Adilangu dan cucu Senopati akan membuktikan sarana (pemberian Ratu, telur dan minyak).

(10)
Juga juru taman Senapati, jalma tuwa madad karemannya, dadya mengguk raga ngronggok, yen angot tan tuk turu, sambat muji marang Hyang Widi, nuwun kuwatan rosa, pinanjangna (k.255) ngumur, samben muji pan mangkana, kantya tan wrin yen gustenira miyosi, tumrun bale krengkangan.

Juga juru taman Senopati, manusia tua yang suka menghisap candu, menjadi batuk dan badan rusak kurus kering, jika kumatnya datang tidak bisa tidur, mengadu kesakitan kepada Hyang Widi, meminta kekuatan dan panjang umur (k.255), setiap sedang memohon seperti itu seterusnya sampai tidak sadar kalau gusti majikannya menghampiri, dia turun dari bale dengan susah payah jatuh bangun.

(11)
Senapati wusnya lengah angling, “Heh Ki Taman mau sun miyarsa, sira muji mintakyate, iku ta apa tuhu, minta ing Hyang sarasing sakit, lan dawane murira”, Juru Kebon matur,”Nggih Gusti yektos amba, rinten dalu nenuwun maring Hyang Widi, pangjanging umur saras.”

Setelah duduk Senopati berbicara, “Heh Ki Taman tadi aku mendengar kamu berdoa meminta kekuatan, apa itu betul, minta kepada Hyang untuk sembuh dari sakit dan panjang umurmu”, Juru Taman menjawab,”Ya Gusti, benar hamba, setiap malam meminta kepada Hyang widi, panjang umur dan sehat.”

(12)
“Yen wis mantep panuwunmu Kaki, sunparingi sesarating gesang, dimen sirna lara kabeh”, Ki Taman nembah nuwun, majeng sinung tigan tinampin, laju kinen nguntala, seksana nguntal wus, Ki Tamanmubeng angganya, lir gangsingan tantara jumeglug muni, wreksa sol sangking prenah.

“Kalau sudah yakin permintaanmu Kaki, aku memberimu prasyarat hidup, agar hilang semua kesakitan”, Ki Taman menghaturkan sembah terimakasih, maju mendekat Senopati dan menerima telur, disuruh segera menelannya, sesudah menelan telur badan Ki Taman berputar-putar, seperti gangsingan berbunyi keras (gangsingan = mainan anak terbuat dari bamboo yang bergerak berputar-putar cepat seperti angina puyuh), arahnya dari pohon besar.

(13)
Gya jenggeleg warna geng nglangkungi, juru taman lir gunung anakan, jatha gimbal kalih kaged, wrin langkung tyasnya ngungun , sang wiku ngling mring Senapati, “Iku Jebeng dadinya, yen nut mring Ni Kidul”, Sang Sena minggu tan nebda, mitenggengen gegetun uningeng warni, dekadya arga suta.

Ki Taman berubah menjadi besar sekali seperti anak gunung, dua gigi siung dan rambut gembel, hatinya terkejut dan menangis, Sang Wiku melihat Senopati, “Itu lah jadinya Nak jika mengikuti kehendak Ni Kidul”, Sang Senopati selama tujuh (7) hari tidak mau berbicara, terpaku melihat wujud dan menyesal, Senopati berdiri kaku seperti anak gunung.

(14)
Sunan adi gya ngandika malih, “Kari siji Jebeng nyatakena, kang ran lenga Jayengkatong”, Sang Senapatya me-(k.256) stu, nulya dhawuh kinon nimbali, pawongan nguni emban, tengran Nini Panggung, lan gamel nami Ki Kosa, tan adangukalihnya wus tekap ngarsi,Sang Sena lon ngandika.

Sunan Adilangu segera berbicara lagi, “Masih ada satu lagi yang harus dibuktikan Nak, yang bernama Minyak Jayengkatong”, Sang Senopati setuju (k.256), segera memberi perintah untuk memanggil emban abdi dalem/ pengasuh yang bernama Nini Panggung, dan tukang gamelan/ tukang musik yang bernama Ki Kosa, keduanya dipanggil dan tidak lama setelahnya mereka sudah ada di hadapan, Sang Senopati berbicara pelan.

(15)
“Bibi Panggung mula suntimbali, lan si Kosa ya padha sunjajal. Nggonen lenga Jayengkatong, nggennya sung Ratu Kidul, yen wis ngarja sekti ngluwihi”, kang liningan wot sekar, tan lengganeng dhawuh, Panggung Kosa tinetesan, Jayengkatong gya sirna kalih tan keksi, pan wus manjing nyeluman.

“Bibi Panggung kamu saya panggil dan Ki Kosa untuk saya coba. Pakailah Minyak Jayengkaton pemberian Ratu Kidul, jika sudah terbukti sangat sakti”, tidak menolak perintah, Panggung dan Kosa ditetesi Minyak jayengkaton segera keduanya hilang tidak kelihatan, sudah berubah menjadi siluman.

(16)
Saksirnanya ngungun Senapati, abdi tiga pan salah gedadyan, wusana lon ngandikane, “Heh Kosa bibi Panggung, de wong roro padha tan keksi”, umatur kang sinebdan, “Inggih Gusti ulun, keng cethi tan kesah-kesah, sangking ngarsa wit pinaringan lisah Gusti, de mawi tan katinggal.”

Setelah hilangnya mereka, Senopati menangis, pada tiga abdi sudah terjadi kesalahan, setelahnya pelan bicaranya, “Heh Kosa dan bibi Panggung, perlihatkanlah diri kalian”, menjawablah mereka, “Baik Gusti saya, yang pasti kami tidak pergi-pergi dari Anda sejak diberi minyak oleh Gusti, walaupun saya tidak terlihat.”

(17)
Sunan Adi lon nambungi angling, “Heh Ni Panggung sira lan si Kosa, padha narimaa karo, pan wus karseng Hyang Agung, sira dadi wadaling gusti, dene jatining jalma, mengko tan kadulu, pan wis dadi ejim padha, nging ta sira aja lunga sing Matawis, emongen gustenira.

Sunan Adilangu pelan menyahut, “Heh kamu Ni Panggung dan si Kosa, terimalah atas kehendak Hyang Agung, kalian menjadi tumbalnya Gusti, tetap menjadi sejatinya manusia sebelumnya sampai masadepan, walaupun sudah menjadi mahluk jin, janganlah pergi dari Mataram, asuhlah Gusti kalian.

(18)
Prayogane Jebeng (k.257) Senapati, bocahira telu ingsun prenah, Panggung Kosa ing enggone, anenga wringin sepuh, juru taman neng Gunung Mrapi, ngereha lembut ngarga,rumeksaa kewuh, mungsuh kirdha jroning praja, juru taman kang katempuh mapag jurit”, mestu kang sinung sebda.

Sebaiknya Nak Senopati (k.257), ketiga abdimu aku tempatkan, Panggung Kosa di tempat Beringin Sepuh/ Tua, Juru Taman di gunung Merapi, menguasai mahluk halus di gunung, menjaga dari musuh dalam kerajaan, Juru Taman yang akan memimpin prajurit”, semua mematuhi perintah Sinuhun Senopati.

(19)
Katriya wus kinon manggon sami, Panggung Kosa lawan juru taman, sang kalih dugi karsane, gya kondur dalemipun, Senapati ngungun ing galih, duk aneng pureng sagra, de meh sisip nglakur, Sunan Adi gya ngandika, “Senapati wismamu tan dipageri, kebo glar neng pegungan.

Ketiganya sudah menuju tempatnya masing-masing, Panggung, Kosa dan ki Juru Taman. Keduanya sampai kehendaknya segera pulang kerumahnya, Senopati menangis hatinya, mengingat di dalam puri samudera, ternyata berbeda, Sunan Adilangu segera berbicara, “Senopati rumahmu tidak dilindungi pagar, kerbau di tikungan.

(20)
Tanpa kandhang ya kang kebo sapi, heh ta Jebeng Senapati Nglaga, iku sisip pasrahe, karena Allah dudu, piyangkuhmu aneng Matawis, sebarang karsanira, kadhinginan ujub, kebo sapi tanpa kandhang, wahanane sapa wani marang mami, dursila satru kridha.

Tanpa kandang (rumah hewan) ya kerbau dan sapi, heh Nak Senopati Ngalaga, itu perbedaan pasrah, karena bukan, keangkuhanmu di Mataram, semua kehendakmu, harus terwujud, bagaikan kerbau dan sapi tanpa kandang/rumah, menantang semua barang siapa saja yang berani denganku, manusia buruk membuat masalah.

(21)
Becik nganggo eneng lawan ening, lumakuo sokur lawan rena, wismaa lan pepagere, kebo sapi yen ucul, keluhana dipuncekeli, yen mulih prapteng wisma, kandhangna sedarum,selarae pace- (k.258) lana, tunggonana yen turu kelawan wengi, pasrahna mring Kang Murba.

Lebih baik memakai ketenangan dan keheningan, berjalanlah dengan syukur dan tujuan, kerbau dan sapi jika lepas, peganglah kepalanya, jika pulang ke rumah, kandangkanlah di ruang cukup, dikunci pintunya (k.258), tunggulah ketika tidur sampai larut malam, berpasrah kepada Kang Murba (Hyang Menciptakan Hidup).

(22)
Anganggoa andum lawan milih, dipatuta lan lakuning praja,lungguhira lawan ngelmune, istiyarmu diagung, anganggoa sumendhe Widi, sebarang tingkahira, anganggoa sokur, karane dipunprayitna, laku linggih solah muna lawan muni, pracina dadi nata.

Melakukan memberi dengan memilih, dipantaskan dengan sifat raja, dudukilah dengan ngelmu/ilmu, besarkan ikhtiarmu, berlakulah pasrah pada Hyang Widi, semua tingkahlaku mu, bersyukurlah, pantas diingat-ingat, tingkah laku dan berbicara selalu dijaga.

(23)
Mengko Jebeng ingsun mertikeli, karya kitha mrih kukuh prajanta, salameta prapta tembe, Jebeng ngambilaranu, aja akeh kebak kang kendhi”, Senapati wotsekar, dhawuh cethi mundhut, tirta ing kendhi pratala, kang liningan sandika nulya nyaosi, tirta mungging lantingan.

Nanti Nak saya tambah petunjuk untuk, usaha kota agar kuat kerajaan, selamat sampai nanti, Nak ambillah air, jangan banyak-banyak memuat di kendhi (tempat air dari periuk tanah)”, Senopati berkata, saya patuh mengambilnya, air di kendhi tanah, yang diperintah segera mengambil dan memberi air dengan alat.

(24)
Nulya linggar wau Sunan Adi, ngasta pandelengan isi tirta, tindak ngideri dhadhahe, Senapati tut pungkur,sarwi mbekta ingkang tetali, ngenthengi ruting tirta, ngandika sang wiku, “Heh ya Jebeng Senapatya,ge turuten saktilase banyu iki, karyanen kuthanira.

Kemudian Sunan Adilangu berjalan mengelilingi perbatasan dengan membawa kendi bersisi air, Senopati mengikuti di belakang, sambil membawa yang diikat, meringankan air, berbicaralah sang Wiku, “Heh ya Nak Senopati, segera ikuti bekas air ini, buatlah kotamu.

(25)
Jebeng rehne tumitah ngaurip, aja kandheg laku panarima, lan diweruh wewekane, ingo-(k.259) n-ingonmu sagung,uga padha kelawan kasih, yen kurang pangreksanya, temah praja eru, saking datan wruh ing weka, nora ngrasa yen manungsa mung sinilih, marang Kang Murbeng Alam.

Nak karena dharma perintah hidup, jangan berhenti bersyukur menerima hidup, dan mengerti sifat-sifat semua (k.259) peliharaanmu, juga kepada yang di cintai, jika kurang memeliharanya, kerajaan menjadi ruwet/kacau, dari ketidaktahuan penglihatan, tidak merasa bahwa manusia hanya meminjam dari Kang Murbeng Alam.

(26)
Lawan sira diwespadeng gaib, lamun kita marentah mring wadya, enakena kabeh tyase, tuhunen ujar ingsun, nuli siram rentaha dasih, awita konen nyithak, wongira Matarum, sakpekolehe nggon karya, becingahen kuthanira dia becik, dadya tila isun wuntat.

Dan kamu harus berwaspada pada yang gaib, walau kita memerintah kepada rakyat, buatlah semua nyaman di hati, patuhilah nasehatku, sekarang dimulai dengan menyiram dan suruhlah orang-orang Mataram mencetak, bekerjalah dengan nyaman, buatlah kotamu menjadi bagus, akhirnya menjadi peninggalan.

(27)
Jebeng yen ws jumbuh traping urip, sasat sira wus madeg narendra, mengkoni ngrat Jawa kabeh, netepi manungsa nung, lan Hyang Sukma kinarya silih, mengkoni ngalam padhang, kang kuwasa tuhu, asung sakwarneng gumelar, pan manungsa kang winenang andarbeni, lestari tanpa kara.

Nak, jika sudah berhasil dengan hidup, sama dengan sudah menjadi Raja, memerintah seluruh tanah Jawa, menjadi manusia unggul, dan Hyang Sukma menciptakan ganti, menguasai alam terang, yang benar berkuasa, membawa semua kebesaran, manusia yang berhak memiliki, lestari (nyaman sentosa) tanpa perkara.

(28)
Lan diweruh kahananing Widi, Jebeng uga nggene kang senyata, pan ya sira saksolahe, nging kesampar kesandhung, dene sira nora ngulati, nggone cedhak asamar, tan ana kang dunung, ngalela neng ngarsanira, gustenira neng ngarsa katon dumeling, anging (k.260) kalingan padhang.

Dan diperlihatkan suasana Widi, Nak juga tempat yang nyata, dengan semua tingkah mu, jatuh bangun, selalu dekat dengan kehendaknya, Gustimu terlihat di depan ingatanmu, tapi (260) terhalang sinar.

(29)
Senapati wotsekar nuwun sih, jarweng Sunan Adi wus kadriya, nging meksih sandeya tyase, de naluri kang tinut,

Senopati menghaturkan terimakasih, nasehat Sunan Adilangu sudah masuk di dalam hati, tapi masih khawatir hatinya, karena naluri yang diikuti,



Mudzakarah Sunan Kajenar Panembahan Senopati Ing Mataram
Dimensi Mistis Pantai Parang Tritis, Bantul, Jogjakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar